
HarmoniSultra.com, Jakarta – Perhimpunan Aktivis Nusantara (Perantara) menggelar aksi unjuk rasa di kantor pusat PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM) di Jakarta, Kamis (08/05/2025).
Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap aktivitas pertambangan PT SCM, yang beroperasi di Kecamatan Routa, Kabupaten Konawe.
Koordinator lapangan, Muhammad Rahim, menyampaikan, pihaknya menduga kuat aktivitas pertambangan yang dilakukan PT SCM menjadi penyebab utama terjadinya banjir di jalur Trans Sulawesi, khususnya di wilayah Desa Sambandete, Kabupaten Konawe Utara.
“Akibat banjir yang berulang, jalan provinsi kerap tertutup, memaksa warga menggunakan perahu kecil dengan biaya tinggi, yakni berkisar antara Rp500.000 hingga Rp800.000 sekali menyeberang,” kata Rahim.
Kondisi ini dinilai sangat merugikan masyarakat yang bergantung pada jalur tersebut untuk mobilitas dan distribusi barang.
Pihaknya juga menilai, operasi tambang PT SCM telah merusak tata kelola air dan ekosistem hulu Sungai Lalindu, yang berdampak pada meningkatnya risiko banjir bandang di wilayah hilir.
“Aktivitas penimbunan rawa-rawa dan pembukaan kawasan hutan di wilayah tambang semakin memperburuk dampak lingkungan yang dirasakan masyarakat,” ungkapnya
Diketahui, PT SCM mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 21.100 hektar. Pembukaan kawasan hutan di Kecamatan Routa juga diduga mengancam keberadaan habitat satwa liar endemik, seperti anoa, serta menimbulkan indikasi perambahan hutan secara ilegal.
Muhammad Rahim juga menyoroti lemahnya pengawasan dari aparat penegak hukum (APH) dan pemerintah daerah, yang dinilai membiarkan PT SCM beroperasi secara eksklusif dan tertutup, tanpa memperhatikan dampak lingkungan maupun sosial.
Berdasarkan hal tersebut, Perantara menyatakan akan terus mengawal kasus ini hingga aparat dan kementerian terkait menindak tegas PT SCM.
Mereka bahkan menyatakan akan melaporkan dugaan pelanggaran lingkungan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), agar pencabutan izin lingkungan PT SCM serta audit menyeluruh terhadap dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Juga penjatuhan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 76 hingga 80 terkait sanksi administratif atas pelanggaran perizinan dan kerusakan lingkungan.
Untuk itu, ia mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), melakukan peninjauan dan pencabutan IUP PT SCM.
“Kami juga menuntut penegakan ketentuan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya Pasal 158 yang mengatur sanksi pidana terhadap pelaku usaha tambang yang melakukan kegiatan tanpa izin yang sah atau melanggar ketentuan izin,” jelas Rahim.
Perantara mendesak PT SCM untuk bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan kepada masyarakat, terutama akibat luapan Sungai Lalindu, yang berhulu di kawasan pertambangan (Air Terjun Lalomerui) dan bermuara di Konawe Utara.
Selain itu, mereka juga menyoroti dampak banjir bandang di Desa Padalere Utama, Kecamatan Wiwirano, yang hampir menghancurkan jembatan gantung satu-satunya sebagai akses vital bagi warga setempat.
“Atas dasar itu, kami menyerukan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk segera melakukan investigasi menyeluruh serta mempertimbangkan pencabutan izin operasional PT SCM demi keselamatan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tenggara (Sultra),” tegasnya.
Komentar